Bosan, menggerogoti penantianku yang tak kunjung terjawab sebuah kata pasti. kebersamaan yang lama tak membuat semuanya matang dan siap untuk melangkah. justru aku merasa waktu tak singkat ini membuatmu terlena dan mengabaikan penantianku yang tegang.
Kamu baru tersadar saat tak banyak waktu lagi untuk kita menata ulang satu demi satu persiapan yang acap kali tersisihkan oleh kepentinganmu sendiri, tapi kemudian sempitnya kesempatan untuk merenda asa bersama pun tak membuatmu memperjuangkannya dengan kesungguhan hatimu.
janji yang kamu perdengarkan dulu, gaungnya kini tak bergema indah, terhalang sikap tak acuhmu yang teramat menyayat harapan besarku. Aku mungkin tersenyum dan seolah menurut saat tuntutanku hanya berbuah jawab "sabar, semua ada jalannya", tapi ada sisi dari wanita yang tak bisa dipaksakan untuk terus mengerti dan bersabar dan itu yang tak pernah bisa kamu mengerti, meski pengorbanan yang kulakukan jauh lebih banyak dari sesuatu yang membuatmu harus mengorbankanku.
Keluhku akan sikapmu selalu membuatmu geram, tapi seluruh inderamu tak pernah peka bahwa sesungguhnya hatiku telah meradang menahan amarah yang tersimpan dalam sabarku yang tersakiti olehmu.
Mengapa selalu aku yang kamu korbankan sementara akulah yang selalu ada saat kesulitan nyaris mengorbankan harga dirimu?
Mengapa tak sedikitpun kamu menahan egomu untuk aku yang selalu tersisih oleh seribu satu macam alasan yang menempatkanku pada urutan paling belakang dalam prioritas hidupmu?
say_somethinghere
SAY WHAT YOU NEED TO SAY....katakan semua yang PERLU kau katakan, tapi jangan SEMUA, karena tak semua yang ingin dikatakan perlu tuk dikatakan tapi yang perlu dikatakan memang harus dikatakan semua... [^_-]"
Minggu, 01 September 2013
Kamis, 19 Juli 2012
CINTA oh CINTA
Rasanya aku terlalu menghambakan diri pada seseorang demi cinta
Aku terlalu takut kehilangan hingga mengejarnya nyaris tak punya malu lagi (fikirku)
Mungkin karena tak ingin kehilangan kesempatan mendapatkan ketulusan hingga aku terlalu posesif padanya.
Tapi kemudian seolah perlahan ia pergi
Membawa janjinya dan mimpiku jauh
Kecewa...
Menyesal...
Sakit...
Ingin kupanggil kembali
Hingga ia tetap bersamaku
Dan bila ia datang
Tak ingin lagi ku siakan waktu dan inginku pada hal yang tak pasti
Tuhan...
Bisakah membawanya kembali padaku
Aku terlalu takut kehilangan hingga mengejarnya nyaris tak punya malu lagi (fikirku)
Mungkin karena tak ingin kehilangan kesempatan mendapatkan ketulusan hingga aku terlalu posesif padanya.
Tapi kemudian seolah perlahan ia pergi
Membawa janjinya dan mimpiku jauh
Kecewa...
Menyesal...
Sakit...
Ingin kupanggil kembali
Hingga ia tetap bersamaku
Dan bila ia datang
Tak ingin lagi ku siakan waktu dan inginku pada hal yang tak pasti
Tuhan...
Bisakah membawanya kembali padaku
Sabtu, 11 Februari 2012
*Kamu SALAH
Niat baik memang tak selamanya dinilai dan anggap baik. Betapapun
usaha itu dilakukan dengan kesungguhan dan tulus tetap saja tak berarti
apa - apa jika *kamu (baca: kalian) hanya memandang dari sisi yang berbeda, dari sudut
pandang yang salah, dari anggapan yang keliru dan dari prasangka yang
tak benar.
*Kamu hanya memandang dari sudut terluar tapi menyimpulkannya secara keseluruhan. Maaf... *kamu salah. kesalahan terbesar dari sebuah pemikiran yang sangat dangkal.
Apa yang kami lakukan adalah atas nama profesionalisme dan mengusung mimpi dan cita - cita kita bersama. Kemudian semuanya diwujudkan dalam perubahan dari segala hal yang dianggap perlu untuk dirubah, kami merubah untuk kebaikan, kebaikan kita bersama, kesejahteraan kita bersama, untuk KITA, tapi sayangnya *kamu tak mengerti. Yang kamu lihat hanya segelintir dan mati2an membeci lalu menganggap itu adalah sebuah penyimpangan.
Manusia. Memang cenderung gampang menilai, menyalahkan, menuduh. Dan seperti itulah yang *kamu lakukan.
Dengar dan jawablah pertanyaan ini
1. Tahukah *kamu persoalaan yang sesungguhnya? Yang sesungguhnya? Tak ada kebohongan dan kemunafikan yang bersembunyi dan disembunyikan di belakang?
2. Jika seandainya semua telah jelas sejelas - jelasnya, apa yang akan *kamu lakukuan bila *kamu berada diposisi kami dengan kondisi seperti itu?
3. Apa yang *kamu rasakan bila *kamu hanya dianggap sebagai tameng dari segala permalahan?
4. Sanggupkah dan bersediakah *kamu diserahi tanggung jawab untuk mengurus dan menyelesaikan setumpuk persoalan yang tak mudah dan kesemua permasalahan itu sama sekali tak ada hubungannya dengan *kamu?
5. Apa yang telah *kamu fikirkan, rencanakan dan lakukan untuk mempertahankan dan meneruskan apa yang telah di raih sekarang?
6. Seberapa banyak waktu, fikiran dan tenaga yang *kamu berikan untuk apa yang telah kita raih saat ini?
7. Apa yang berhasil *kamu rubah dari kesalahan lalu? Tak ada kah? Owh...Atau jangan-jangan *kamu sendiri tak pernah sadar bahwa dulu telah terjadi kekeliruan dan keselahan yang cukup prinsip.
8. Prestasi apa yang telah kau toreh, sehingga *kamu memantaskan diri untuk menilai dan mengatakan kami keliru.
9. Indikasi apa yang *kamu lihat dari gelagat kami yang memantapkanmu untuk memojokkan kami dan berkata "kami salah", "telah terjadi penyimpangan" dan lain hal dari segala pemikiran dan anggapan *kamu yang sungguh keliru?
Seribu pertanyaan mungkin tak akan membuat *kamu sadar bahwa sesungguhnya selama ini kami hanya bermodal ikhlas selama menjalani dan mengemban tugas berat ini. Tapi satu pertanyaan mungkin juga cukup bagi *kamu untuk mengerti dan tak buru-buru berfikir negatif tentang kami. Atau mungkin juga *kamu tak butuh pertanyaan apapun untuk bisa mengerti apa yang selama ini kami lakukan dan usahan, tapi untuk hal ini akan sangat sulit untuk *kamu kan?!
Semua terserah *kamu saja...Jika kami salah tentu *kamu bisa berbuat lebih benar dan membenarkan semuanya.
Dan jika ternyata *kamu yang salah, kelak *kamu akan sadar sendiri, akan menyesal tapi mungkin semua sudah terlambat. Bukankah penyesalan selalu berdiri paling belakang?
Jadilah orang yang punya prinsip. jangan munafik. Jangan terlalu pandai memutar kata untuk menyelamatkan posisi diri sendiri sebab suatu ketika kata - katamu sendirilah yang mungkin akan menghancurkanmu. Kemunafikanmu sendirilah yang bisa saja membuatmu tak lagi bisa dipercaya. Dan Sikapmu yang plin - plan akan membuatmu kehilangan kesempatan baik.
Cernalah dulu. Selamilah dulu lebih dalam sebelum memutuskan karena apa yang kau dengar belum tentu terdengar seperti itu, bahkan apa yang *kamu lihat belum tentu terlihat seperti yang terlihat. Karena...segala sesuatu yang terjadi dan dijadikan berawal dari sebuah alasan.
*Kamu hanya memandang dari sudut terluar tapi menyimpulkannya secara keseluruhan. Maaf... *kamu salah. kesalahan terbesar dari sebuah pemikiran yang sangat dangkal.
Apa yang kami lakukan adalah atas nama profesionalisme dan mengusung mimpi dan cita - cita kita bersama. Kemudian semuanya diwujudkan dalam perubahan dari segala hal yang dianggap perlu untuk dirubah, kami merubah untuk kebaikan, kebaikan kita bersama, kesejahteraan kita bersama, untuk KITA, tapi sayangnya *kamu tak mengerti. Yang kamu lihat hanya segelintir dan mati2an membeci lalu menganggap itu adalah sebuah penyimpangan.
Manusia. Memang cenderung gampang menilai, menyalahkan, menuduh. Dan seperti itulah yang *kamu lakukan.
Dengar dan jawablah pertanyaan ini
1. Tahukah *kamu persoalaan yang sesungguhnya? Yang sesungguhnya? Tak ada kebohongan dan kemunafikan yang bersembunyi dan disembunyikan di belakang?
2. Jika seandainya semua telah jelas sejelas - jelasnya, apa yang akan *kamu lakukuan bila *kamu berada diposisi kami dengan kondisi seperti itu?
3. Apa yang *kamu rasakan bila *kamu hanya dianggap sebagai tameng dari segala permalahan?
4. Sanggupkah dan bersediakah *kamu diserahi tanggung jawab untuk mengurus dan menyelesaikan setumpuk persoalan yang tak mudah dan kesemua permasalahan itu sama sekali tak ada hubungannya dengan *kamu?
5. Apa yang telah *kamu fikirkan, rencanakan dan lakukan untuk mempertahankan dan meneruskan apa yang telah di raih sekarang?
6. Seberapa banyak waktu, fikiran dan tenaga yang *kamu berikan untuk apa yang telah kita raih saat ini?
7. Apa yang berhasil *kamu rubah dari kesalahan lalu? Tak ada kah? Owh...Atau jangan-jangan *kamu sendiri tak pernah sadar bahwa dulu telah terjadi kekeliruan dan keselahan yang cukup prinsip.
8. Prestasi apa yang telah kau toreh, sehingga *kamu memantaskan diri untuk menilai dan mengatakan kami keliru.
9. Indikasi apa yang *kamu lihat dari gelagat kami yang memantapkanmu untuk memojokkan kami dan berkata "kami salah", "telah terjadi penyimpangan" dan lain hal dari segala pemikiran dan anggapan *kamu yang sungguh keliru?
Seribu pertanyaan mungkin tak akan membuat *kamu sadar bahwa sesungguhnya selama ini kami hanya bermodal ikhlas selama menjalani dan mengemban tugas berat ini. Tapi satu pertanyaan mungkin juga cukup bagi *kamu untuk mengerti dan tak buru-buru berfikir negatif tentang kami. Atau mungkin juga *kamu tak butuh pertanyaan apapun untuk bisa mengerti apa yang selama ini kami lakukan dan usahan, tapi untuk hal ini akan sangat sulit untuk *kamu kan?!
Semua terserah *kamu saja...Jika kami salah tentu *kamu bisa berbuat lebih benar dan membenarkan semuanya.
Dan jika ternyata *kamu yang salah, kelak *kamu akan sadar sendiri, akan menyesal tapi mungkin semua sudah terlambat. Bukankah penyesalan selalu berdiri paling belakang?
Jadilah orang yang punya prinsip. jangan munafik. Jangan terlalu pandai memutar kata untuk menyelamatkan posisi diri sendiri sebab suatu ketika kata - katamu sendirilah yang mungkin akan menghancurkanmu. Kemunafikanmu sendirilah yang bisa saja membuatmu tak lagi bisa dipercaya. Dan Sikapmu yang plin - plan akan membuatmu kehilangan kesempatan baik.
Cernalah dulu. Selamilah dulu lebih dalam sebelum memutuskan karena apa yang kau dengar belum tentu terdengar seperti itu, bahkan apa yang *kamu lihat belum tentu terlihat seperti yang terlihat. Karena...segala sesuatu yang terjadi dan dijadikan berawal dari sebuah alasan.
Minggu, 13 November 2011
Walk together
Kemana gerangan gairah yang begitu membuncah? Apa ia tertinggal jauh dibelakang bersama "dulu"? Mengapa? Mengapa tak berjalan bersama, beriring dan bergandeng kemana pun pergi?
Raga telah sampai disini, jauh di depan, mengikut dan terikut waktu. Tapi gelora cinta berjalan sedikit demi sedikit dengan langkah - langkah kecil di belakang. Ada Apa? Apa yang salah? Atau justru lelah? Jangan begitu, membuat raga sedih saja.
Bisakah tetap berjalan, lebih cepat, mengejar dan mensejajarkan langkah?
Tolonglah....
Demi cinta yang sebenar - benarnya cinta
Bisa kan..!!!
Kamis, 22 September 2011
...MaaF...
tak bisa kutegakkan kepala dan menatapmu dalam seperti kemarin
tak sanggup kumelihat matamu, mencari dan menemukan diriku lagi disana
semua karena aku terlalu menyayangimu
dan menyayangimu adalah sebuah kesalahan
seharusnya
aku tetap menjadi diriku yang dulu
mengagumi diam-diam
tanpa kau tau, hanya aku, tak perlu ada kita
entah mengapa akhirnya semua menjadi jelas
sangat jelas, kamu dan aku
tapi tidak untuk kita
maaf pernah menyimpanmu dihatiku
maaf bila terpaksa kau tau kau ada disana
aku akan pergi
sehingga kau tak merasa terusik
aku akan pergi
dengan tetap menyimpanmu dihatiku atau membuangnya
tak perlu kau tau lagi
biarlah itu menjadi urusanku sendiri
Memories of mine
Ini adalah kisahku
Dimana aku dihadapkan oleh aturan dan perasaan. Disatu sisi aku dituntut untuk tidak menghadirkan cinta diruang hati. Sementara disisi lain, cinta adalah kekuatan jiwa, adalah halimun tipis yang melingkupi sisinya dan menyelubungi kerangka keberadaannya.
Dimana aku dihadapkan oleh aturan dan perasaan. Disatu sisi aku dituntut untuk tidak menghadirkan cinta diruang hati. Sementara disisi lain, cinta adalah kekuatan jiwa, adalah halimun tipis yang melingkupi sisinya dan menyelubungi kerangka keberadaannya.
Bersamaku adalah pilihan yang tidak bisa diabaikan. Mulanya keteguhanku berdiri kokoh dalam sebuah konsekuensi, bahwa parsahabatan adalah satu-satunya hubungan yang bisa ada. Tapi akhirnya, keteguhan itu luluh bersama ketidakberdayaan dan rasa simpati yang sebernarnya telah ada sejak awal ia datang.
Ya…… karena ketulusan dan keseriusannyalah yang memaksaku untuk mengulurkan tangan, meraih rayu, pesona dan janjinya, mendekapnya dalam satu asa dan melihat bahwa ini adalah kebahagiaan yang nyata.
Kurasa aku memang menyangnya,,,, akuku suatu hari saat mengenang awal kehadirannya.
Saat itu di sebuah dapur sekolah yang menurutku kotor dan jorok, dia datang menyapa kami, adik-adik juniornya yang sebagian dari kamipun baru ia kenal malam itu, termasuk aku.
Aku menatapnya dengan tatapan yang lain, kuamati penampilannya yang kurasa aneh...baju putih, khas sailor, rambut panjang sebahu diikat, dia datang menyapa...beberapa kali kumenatapmya aneh tapi aku suka...itu gaya yang belum pernah ada disini. Dia tampil apa adanya, tak berusaha membuat image sebagai seorang ustadz, dia tampil apa adanya dan itu yang membuatku suka...
Esok hari....dia kembali lagi mengunjungi kami di sebuah dapur kotor dan jorok milik sekolahku, tapi disanalah kami menikmati semua makanan yang membuat kami tumbuh dewasa bersama segala aturan, emosi dan liku hidup di dunia kecil buatan manusia-manusia yang bermukim di dalamnya. Aku tersenyum sembari menenggelamkan kepalaku dalam rasa malu, Astaga...ada apa denganku, mengapa berharap aku bisa menjadi adik kesayangannya, tidak bisa. aku bukanlah siapa-siapa untuknya dan tak mungkin dia menoleh pada anak kecil yang dekil dan bergaya kampungan yang hidupnya terkurung dalam sebuah dunia kecil dengan setumpuk atruran yang katanya di balut oleh aturan-aturan bernuansa religi...kenangku...
Hatiku gelitik, menahan degup jantung yang lebih cepat dari biasanya, saat dia tepat berdiri di sampingku, menyapaku penuh sahaja di sebuah dapur berdinding seng hitam oleh asap-asap masakan sehari-hari kami. Aku tersenyum penuh bangga...dia menyapaku...kemudian kutertunduk dalam rasa bercampur aduk, antara senang dan menahan diri untuk tak mengharap ini bisa lebih dari sekedar persaudaraan
Ya...itulah awal simpatiku padanya, dan itu menjadi kenangan yang indah sampai suatu hari dia kembali datang membawa rasa yang dulu pernah kuidamkan, tapi rasa itu menjadi tak sempurna saat kutahu pria jangkung dengan rambut sebahu datang padaku tak lama setelah hatinya terluka karena sahabatku tak mengizinkan kehadiran pria jangkung bersemayam di hati dan rasanya.
Pria jangkung dengan rambut sebahu datang padaku
Apa yang dibangun diatas keterpaksaan tak akan berujung pada keabadian yang hakiki, setulus dan sejujur apapun rasa itu terungkap, tetaplah terdengar dusta olehku. Seindah dan sebahagia apapun detil yang terlewatkan oleh waktu, tetaplah sebagai suatu penyiksaan panjang bagiku. Bagaimanapun berharganya kebersamaan itu, namun tiap detik yang terlumatkan oleh waktu adalah sia-sia untukku. Tapi aku adalah aktor hebat diatas panggung sandiwara, atas nama kemunafikan kulakonkan tiap episode cinta sang pria jangkung.
Tak seorangpun tahu kapan dia datang dan pergi. Seperti saat itu, kebersamaanku dengannya ternyata menyisakan simpati, dan sayangpun tumbuh diantara kepalsuan. Lalu aku berniat mengubah segala kepalsuan menjadi sesuatu yang tulus, dan memulainya dengan rasa simpatiku padanya. Tapi saat aku baru saja menikmati rasa itu, ia membuat satu kesalahan. Sepele mungkin, tapi tidak untukku. Satu kata darinya cukup membuatku terlihat begitu bodoh dan malu didepan orang banyak. Jika boleh meminta, aku mau tanah tempatku berpijak menganga dan menelanku sampai aku tak bisa mengingat apa-apa lagi tentang hari itu.
Akhirnya keputusanku membuatnya jauh. Mestinya ini membuatku lega, karena tidak lagi harus bermain diantara kepalsuan, kalaupun pernah ada rindu untuknya, setidaknya belum terlambat untuk dilupakan.
“untuk apa menyuruhku menunggu bila kau sendiri tak bisa bertahan bahkan kurang dari separuh waktu yang kau janjikan. Mengapa menginginkan kesetianku bila akhirnya bukan aku yang kau pilih”
Akh… mungkinkah tanya ini cukup mewakili kekecewaanku? bilakah tanya ini membuktikan bahwa aku memang menyukainya? Yang kutahu, kau tak setia pada janjimu sendiri. Meski kecewa tapi tak tercipta sebuah elegi yang memungkinkan air mata alirkan duka.
Bukan karena ingatanku pada pria jangkung, tapi karena kisah ini bukanlah masalah atau masa lalu yang harus kubuang atau kuhilangkan.
Rabu, 21 September 2011
Stair Way to...
" Kontrakku di perpanjang setahun "
" Oh yach...Alhamdulillah "
" Tapi aku menolak "
" Kenapa? "
" Gajiku tidak berubah "
" Tidak apa-apa, sabar saja dulu, mungkin tahun depan "
" Iya kalau masih bisa di perpanjang lagi sampai tahun kedua, kalau tidak, itu artinya aku hanya akan menerima gaji seperti ini saja selama setahun kedepan"
" Ambil positifnya "
" Positif mana? Kamu gampang saja bilang begitu, Aku... Aku yang bekerja. Hari - hariku bergelantungan diantara besi-besi kokoh yang terpancang tinggi menjulang, sangat beresiko. Siang kepanasan, hujan kehujanan, tengah malam orang lain sudah tidur tapi aku kadang masih harus melek, besokpun tetap harus masuk pagi tanpa ada toleransi, bahkan sering pula tak tidur. ini kerjaan outdoor. Tanaga yang terkuras tak sebanding dengan hasil keringat yang kukantongi tiap bulannya. Belum lagi masalah klaim potongan sana-sini karena alasan telat ke kantor, tapi perih mataku menahan kantuk saat kerja lembur kadang tak di perhitungkan. Seringkali aku pergi lama, berhari - hari, berminggu - minggu, sampai berbulan - bulan, tapi saat kembali pulang, aku justru minus yang plus hanya lelah. Aku tidak minta terlalu banyak, sewajarnya saja, setidaknya peluhku berbanding sama dengan perutku "
" Tak bisakah kamu pertimbangkan lagi "
" Apa lagi? "
" Keluargamu, bukankah sejak Ayahmu pergi, kamu yang menggantikannya. Cicilan motor dan tagihan lain yang mesti dibayar atau rengek ponakanmu yang meminta sebungkus permen "
" Narik ojek kek atau apa saja "
" Kenapa sih kamu "
" Jangan terlalu mengintimidasi, ini aku, bukan kamu "
Dialog itu kemudian berakhir begitu saja. Entah aku bisa memahami gulanamu atau justru aku yang ingin kamu mengerti keadaanmu sendiri dan sedikit berdamai dengan takdir. Betapa banyak yang ingin sepertimu demi menyambung hidup, lantas mengapa kamu ingin membuangnya begitu saja dan mengabaikan janji manis Tuhan dibalik rasa sabar. Bukan suatu kesalahan memang bila kamu merasa tidak nyaman dengan kondisi yang tidak memihak, Mungkin pula bukan suatu kesombongan bila kamu berkata "kurang" dan meminta sedikit "lebih". Toh masih dalam koridor standar. Tapi, mungkin tidak sekarang.
Pernah kamu membaca biografi orang sukses, bahwa gelimangan kenyamanan yang menyertai mereka justru bergandeng erat dengan ketidaknyamanan diawal mereka melangkah. Hal yang membuat mereka bertahan adalah mimpi dan sabar. Mungkin kamu sudah punya mimpi, hanya saja belum bersabar.
Bersukurlah atas apa yang kamu punya, dengan begitu kamu bisa bersabar. Bersabarlah sebentar maka mimpimu tak lagi jauh.
Kamu telah lama menghilang.
Kemana.
Entah.
Tapi pesan ini kutitipkan untukmu.
Langganan:
Postingan (Atom)