Kamis, 22 September 2011

...MaaF...


tak bisa kutegakkan kepala dan menatapmu dalam seperti kemarin
tak sanggup kumelihat matamu, mencari dan menemukan diriku lagi disana
semua karena aku terlalu menyayangimu
dan menyayangimu adalah sebuah kesalahan

seharusnya
aku tetap menjadi diriku yang dulu

mengagumi diam-diam
tanpa kau tau, hanya aku, tak perlu ada kita

entah mengapa akhirnya semua menjadi jelas
sangat jelas, kamu dan aku
tapi tidak untuk kita

maaf pernah menyimpanmu dihatiku
maaf bila terpaksa kau tau kau ada disana

aku akan pergi
sehingga kau tak merasa terusik

aku akan pergi 
dengan tetap menyimpanmu dihatiku atau membuangnya
tak perlu kau tau lagi

biarlah itu menjadi urusanku sendiri

Memories of mine


Ini adalah kisahku
Dimana aku dihadapkan oleh aturan dan perasaan. Disatu sisi aku dituntut untuk tidak menghadirkan cinta diruang hati. Sementara disisi lain, cinta adalah kekuatan jiwa, adalah halimun tipis yang melingkupi sisinya dan menyelubungi kerangka keberadaannya.




Cerita ini berawal ketika seorang pria jangkung dengan rambut sebahu datang kepadaku menawarkan dunia cinta miliknya. Yang katanya aku bisa membangun surga asmara diatas lapang kasihnya, menabur benih asmara di ladang hatinya, memupuk dengan asmara dan menyiraminya dengan kerinduan. Benih asmara akan selalu berbuah cinta yang siap dituai dengan kebahagiaan. Sungguh tawaran yang sangat menggiurkan segenap jiwa dan perasaan untuk segera ikut larut bersamanya.

Namun layaknya seekor burung yang terkurung diantara ketidakberdayaan, aku berdiri ditengah kebebasan semu. Langkahku terpasung oleh aturan yang berkedok kebijaksanaan. Ya….. aku hanyalah bagian dari penguasa suatu komunitas, dan cinta adalah perasaan yang tidak bisa kami miliki. Tapi bukan berarti sang penguasa tidak memiliki rasa cinta sama sekali. sesungguhnya dibalik keangkuhan dan kemurkaan sang penguasa, beliau memiliki hati yang arif dan bijaksana. Sang penguasa hanya tidak ingin rasa kasih yang berlebih diantara kaumnya merusak komunitasnya yang dianggap suci.


Aku sendiri tak berani mengkhianati janji. Kuputuskan untuk tetap berada dalam kesendirian, mengubur kehadirannya dalam ketidakpedulianku dan membiarkannya pergi temukan kasih lain pada pribadi yang berbeda. awalnya ini karena aturan yang mengikatku, lalu kemudian kurasa ini juga karena aku merasa kau menjadikanku sebagai pelarian atas hatinya yang tersakiti oleh sahabatku, Dia menjadikanku sebagai sebuah pelarian atas cintanya yang terluka adalah hal yang tidak mudah untuk menjajarkan hatinya dan hatiku, sehingga kularikan perhatianku pada seseorang yang pun telah mengusik simpatiku. Dan dia adalah sahabatku dan juga kerabatnya. Aku mengaguminya tapi kutahu kutak bisa mengharapnya. Kulakukan semuanya karena ku ingin Pria jangkung dengan rambut sebahu menyerah atas rasanya padaku. Kemudian suatu hari ku tulis ragkaian bait surat untuknya, kukatakan padanya aku tidak memiliki rasa yang sama untuk bisa kusodorkan sebagai pelengkap kebahagiaannya. Tapi sang pria jangkung tak seperti yang kukira.

Bersamaku adalah pilihan yang tidak bisa diabaikan. Mulanya keteguhanku berdiri kokoh dalam sebuah konsekuensi, bahwa parsahabatan adalah satu-satunya hubungan yang bisa ada. Tapi akhirnya, keteguhan itu luluh bersama ketidakberdayaan dan rasa simpati yang sebernarnya telah ada sejak awal ia datang.

Ya…… karena ketulusan dan keseriusannyalah yang memaksaku untuk mengulurkan tangan, meraih rayu, pesona dan janjinya, mendekapnya dalam satu asa dan melihat bahwa ini adalah kebahagiaan yang nyata.
Kurasa aku memang menyangnya,,,, akuku suatu hari saat mengenang awal kehadirannya.
Saat itu di sebuah dapur sekolah yang menurutku kotor dan jorok, dia datang menyapa kami, adik-adik juniornya yang sebagian dari kamipun baru ia kenal malam itu, termasuk aku.

Aku menatapnya dengan tatapan yang lain, kuamati penampilannya yang kurasa aneh...baju putih, khas sailor, rambut panjang sebahu diikat, dia datang menyapa...beberapa kali kumenatapmya aneh tapi aku suka...itu gaya yang belum pernah ada disini. Dia tampil apa adanya, tak berusaha membuat image sebagai seorang ustadz, dia tampil apa adanya dan itu yang membuatku suka...
Esok hari....dia kembali lagi mengunjungi kami di sebuah dapur kotor dan jorok milik sekolahku, tapi disanalah kami menikmati semua makanan yang membuat kami tumbuh dewasa bersama segala aturan, emosi dan liku hidup di dunia kecil buatan manusia-manusia yang bermukim di dalamnya. Aku tersenyum sembari menenggelamkan kepalaku dalam rasa malu, Astaga...ada apa denganku, mengapa berharap aku bisa menjadi adik kesayangannya, tidak bisa. aku bukanlah siapa-siapa untuknya dan tak mungkin dia menoleh pada anak kecil yang dekil dan bergaya kampungan yang hidupnya terkurung dalam sebuah dunia kecil dengan setumpuk atruran yang katanya di balut oleh aturan-aturan bernuansa religi...kenangku...

Hatiku gelitik, menahan degup jantung yang lebih cepat dari biasanya, saat dia tepat berdiri di sampingku, menyapaku penuh sahaja di sebuah dapur berdinding seng hitam oleh asap-asap masakan sehari-hari kami. Aku tersenyum penuh bangga...dia menyapaku...kemudian kutertunduk dalam rasa bercampur aduk, antara senang dan menahan diri untuk tak mengharap ini bisa lebih dari sekedar persaudaraan
Ya...itulah awal simpatiku padanya, dan itu menjadi kenangan yang indah sampai suatu hari dia kembali datang membawa rasa yang dulu pernah kuidamkan, tapi rasa itu menjadi tak sempurna saat kutahu pria jangkung dengan rambut sebahu datang padaku tak lama setelah hatinya terluka karena sahabatku tak mengizinkan kehadiran pria jangkung bersemayam di hati dan rasanya.
Pria jangkung dengan rambut sebahu datang padaku

Namun……..

Apa yang dibangun diatas keterpaksaan tak akan berujung pada keabadian yang hakiki, setulus dan sejujur apapun rasa itu terungkap, tetaplah terdengar dusta olehku. Seindah dan sebahagia apapun detil yang terlewatkan oleh waktu, tetaplah sebagai suatu penyiksaan panjang bagiku. Bagaimanapun berharganya kebersamaan itu, namun tiap detik yang terlumatkan oleh waktu adalah sia-sia untukku. Tapi aku adalah aktor hebat diatas panggung sandiwara, atas nama kemunafikan kulakonkan tiap episode cinta sang pria jangkung.


Mungkin ia tak tahu akan kebohongan ini. Ia terus saja menyayangiku, memberi perhatian yang yang tak bisa kubalas. Satu-satunya yang kulakukan adalah membiarkan dirinya menikmati rasa itu seorang diri, hingga suatu hari ia menyadari kesendiriannya, menuntut jawab atas kebungkamanku, mulai menanyakan mengapa menghindar adalah cara ampuh untuk bisa lepas dari perhatiannya. Mungkinkah ia mulai jemu menghadapiku yang selalu bersikap dingin terhadapnya. Tanya itu menyelinap begitu saja dalam benakku tanpa memberi kesempatan untuk mengungkap jujur yang selama ini menggantung dilangit kebohongan.

Seperti biasa, aku memujinya, menyodorkan sangkalan manis untuk menudahi kecurigaan yang harusnya berwujud kebenaran. Betapapun aku ingin terlepas dari kepura-puraan ini, tapi aku tak pernah tega melakukannya. Aku tak kuasa bila harus melebur kebahagiaanya menjadi kepingan hati yang terluka. Namun jalan yang kami lalui justru melahirkan rasa serba salah pada masing-masing pribadi. Aku ataupun dirinya tak tahu pasti akan imbalan atas perasaan yang menyelubungi hati kami.


Cinta memang misterius.
Tak seorangpun tahu kapan dia datang dan pergi. Seperti saat itu, kebersamaanku dengannya ternyata menyisakan simpati, dan sayangpun tumbuh diantara kepalsuan. Lalu aku berniat mengubah segala kepalsuan menjadi sesuatu yang tulus, dan memulainya dengan rasa simpatiku padanya. Tapi saat aku baru saja menikmati rasa itu, ia membuat satu kesalahan. Sepele mungkin, tapi tidak untukku. Satu kata darinya cukup membuatku terlihat begitu bodoh dan malu didepan orang banyak. Jika boleh meminta, aku mau tanah tempatku berpijak menganga dan menelanku sampai aku tak bisa mengingat apa-apa lagi tentang hari itu.


Kepalsuan yang masih tersisa serta rasa indah yang kupunya, melebur dalam amarah, lalu emosi akhiri semua yang ada. Tapi seperti yang telah lalu, pria jangkung tak pernah mau menerima kata tidak dariku. Kali ini ia kembali datang padaku. Jelas terlihat sesal dibalik tatapnya. Keangkuhan sang pria jangkung tertunduk dihadapan beku jiwaku.


Kadang aku merasa tersanjung. Betapa banyak cinta yang ia punya untukku, sementara aku………aku tetap tak bisa menjajari ketulusan yang bertahta dihatinya. Simpati dan sayang yang pernah ada kini berganti kesal, karena egoku tak jua reda oleh pesona dan harapnya.
Akhirnya keputusanku membuatnya jauh. Mestinya ini membuatku lega, karena tidak lagi harus bermain diantara kepalsuan, kalaupun pernah ada rindu untuknya, setidaknya belum terlambat untuk dilupakan.


Kukira kisahku berakhir seiring kepergiannya, ternyata aku salah. Luas samudera yang diarunginya ternyata bukan untuk melupakanku, justru ia memberiku kesempatan untuk mencari cinta yang pernah kubuang entah dimana. Agar dua tahun kemudian, saat kapalnya kembali berlabuh di kota Daeng, sudah kutemukan kembali cinta yang ia minta. Akh…betapa egoisnya ia terlahir sebagai seorang pria. Haruskah aku kembali padanya, jika memang begitu, harus selama itukah aku menunggu tanpa tahu pasti imbalan apa yang kuterima diujung penantian. Namun akhirnya ketulusannya pulalah yang meluluhkan keangkuhan yang tegak berdiri dihadapan arogansiku. Ya….seperti yang ia mau, aku menunggunya.


Meski bukan inginku untuk menunggunya, tetapi hatiku tak berani menodai putih janjinya. Karena kepercayaanku padanya, kutepis cinta lain yang coba datang padaku dan menyerahkan diri pada ketidakpastian. Tiga purnama aku menunggu tak juga ada tanda-tanda, tertelankah ia oleh garangnya ombak atau adakah ia kembali seperti yang dijanjikannya. Tapi saat kutahu beritanya, akhirnya aku sadar bahwa yang kulakukan selama ini hanyalah sebuah ketololan. Satu hati telah mengisi kehampaanya disana dan saat ia benar-benar pulang, ternyata dialah wanita yang dipilihnya untuk menemani kesendirianya. Selamanya………sampai waktunya tiba.


Satu senyum tersungging diantara rapatnya katupan bibirku, aku sendiri tak bisa menerjemahakan senyum itu. Tapi jauh dilubuk hatiku, kurasa ada sesuatu. Disatu sisi aku merasa tak ada lagi yang membebaniku karena akhirnya kisah ini benar-benar telah berakhir. Tapi disisi lain, aku rasa kecewa. Inikah harga yang harus kubayar atas semua yang kulakukan selama ini.

“untuk apa menyuruhku menunggu bila kau sendiri tak bisa bertahan bahkan kurang dari separuh waktu yang kau janjikan. Mengapa menginginkan kesetianku bila akhirnya bukan aku yang kau pilih”

Akh… mungkinkah tanya ini cukup mewakili kekecewaanku? bilakah tanya ini membuktikan bahwa aku memang menyukainya? Yang kutahu, kau tak setia pada janjimu sendiri. Meski kecewa tapi tak tercipta sebuah elegi yang memungkinkan air mata alirkan duka.




Aku hanya menertawakan diriku yang begitu sempurna diantara apiknya ketololan yang kubuat sendiri. dulu ataupun nanti aku dan dia memang tak akan pernah bersama. Karena saat ia memilihku, aku mengabaikannya. Saat aku mulai percaya padanya, ia meragukanku. Dan saat aku menunggunya, ia meninggalkanku.


Aku akan terus mengingat ini.

Bukan karena ingatanku pada pria jangkung, tapi karena kisah ini bukanlah masalah atau masa lalu yang harus kubuang atau kuhilangkan.


Rabu, 21 September 2011

Stair Way to...



" Kontrakku di perpanjang setahun "
" Oh yach...Alhamdulillah "
" Tapi aku menolak "
" Kenapa? "
" Gajiku tidak berubah "
" Tidak apa-apa, sabar saja dulu, mungkin tahun depan "
" Iya kalau masih bisa di perpanjang lagi sampai tahun kedua, kalau tidak, itu artinya aku hanya akan menerima gaji seperti ini saja selama setahun kedepan"
" Ambil positifnya "
" Positif mana? Kamu gampang saja bilang begitu, Aku... Aku yang bekerja. Hari - hariku bergelantungan diantara besi-besi kokoh yang terpancang tinggi menjulang, sangat beresiko. Siang kepanasan, hujan kehujanan, tengah malam orang lain sudah tidur tapi aku kadang masih harus melek, besokpun tetap harus masuk pagi tanpa ada toleransi, bahkan sering pula tak tidur. ini kerjaan outdoor. Tanaga yang terkuras tak sebanding dengan hasil keringat yang kukantongi tiap bulannya. Belum lagi masalah klaim potongan sana-sini karena alasan telat ke kantor, tapi perih mataku menahan kantuk saat kerja lembur kadang tak di perhitungkan. Seringkali aku pergi lama, berhari - hari, berminggu - minggu, sampai berbulan - bulan, tapi saat kembali pulang, aku justru minus yang plus hanya lelah. Aku tidak minta terlalu banyak, sewajarnya saja, setidaknya peluhku berbanding sama dengan perutku "
" Tak bisakah kamu pertimbangkan lagi "
" Apa lagi? "
" Keluargamu, bukankah sejak Ayahmu pergi, kamu yang menggantikannya. Cicilan motor dan tagihan lain yang mesti dibayar atau rengek ponakanmu yang meminta sebungkus permen "
" Narik ojek kek atau apa saja "
" Kenapa sih kamu "
" Jangan terlalu mengintimidasi, ini aku, bukan kamu "


Dialog itu kemudian berakhir begitu saja. Entah aku bisa memahami gulanamu atau justru aku yang ingin kamu mengerti keadaanmu sendiri dan sedikit berdamai dengan takdir. Betapa banyak yang ingin sepertimu demi menyambung hidup, lantas mengapa kamu ingin membuangnya begitu saja dan mengabaikan janji manis Tuhan dibalik rasa sabar. Bukan suatu kesalahan memang bila kamu merasa tidak nyaman dengan kondisi yang tidak memihak, Mungkin pula bukan suatu kesombongan bila kamu berkata "kurang" dan meminta sedikit "lebih". Toh masih dalam koridor standar. Tapi, mungkin tidak sekarang.


Pernah kamu membaca biografi orang sukses, bahwa gelimangan kenyamanan yang menyertai mereka justru bergandeng erat dengan ketidaknyamanan diawal mereka melangkah. Hal yang membuat mereka bertahan adalah mimpi dan sabar. Mungkin kamu sudah punya mimpi, hanya saja belum bersabar.
Bersukurlah atas apa yang kamu punya, dengan begitu kamu bisa bersabar. Bersabarlah sebentar maka mimpimu tak lagi jauh.


Kamu telah lama menghilang.
Kemana.
Entah.
Tapi pesan ini kutitipkan untukmu.

Jumat, 16 September 2011

Kita Belum Memulainya


Kamu pergi lagi setelah tak berapa lama pulang. Pekerjaanmu membuat kita jarang terlihat bersama. Selalu begitu.
Pernah ku berfikir "apa harus begini?" "akankah seperti ini terus?"
Hehehe....pertanyaan itu terlalu posesif, terlalu mengikat langkahmu disisiku, sementara kepastian itu belum terlihat sama sekali, tak hanya samar, bahkan masih tanda tanya.

Lalu harus bagaimana?
Mengapa seumur hidup manusia selalu berselubung tanda tanya?
Kamu, Aku, Hidupmu, Hidupku, apa iya nantinya kita akan berjodoh?
Tak ada yang tahu kan!
Aku, Kamu, kita semua, tak ada yang bisa menjawab.
"Kita usahakan" itu katamu suatu hari saat ku iseng bertanya lagi
"Bagaimana kalo tidak bisa?" kataku lagi
"Aku akan memohon pada orang tuamu" Jawabmu kemudian.
"Kalau tetap tidak?" Tanyaku lagi
"Pokoknya kita harus memperjuangkannya" Jawabmu mulai tak nyaman.
"Seandainya kita memang tidak berjodoh, bisakah kamu ikhlas?" Nadaku serius
"Jangan bertanya lagi, hanya aku yang akan menikahimu" Jawabmu tegas, hampir marah bahkan.
Menatapmu dalam diam, mengamati wajahmu dalam gurat tak jelas, tapi aku menemukan satu hal yang ku percayai sendiri, kamu mencintaiku.
"Lalu kapan?" tanyaku kemudian, mencoba menimpali jawaban terakhirmu. Tapi tak ada jawaban. Tentu saja tak ada...pertanyaan itu hanya sampai di tenggorokanku, udara tak menangkap suara apapun untuk di getarkan langsung ke gendang telingamu.

"Kamu bersabarlah sayang, banyak hal yang harus dipersiapkan agar aku merasa pantas dan dapat memintamu pada orang tuamu" Katamu seolah mendengar pertanyaan yang tersendat di kerongkonganku.
"Sampai kapan?" sahutku malas.
"Sabar, semua ada jalannya, jangan tanyakan itu lagi karena membuatku semakin terbebani. kamu tahu persis keadaanku. Kamu cobalah mengerti dan menghargai setiap usahaku, aku siang malam bekerja juga untuk kamu, untuk kita. Semua akan indah pada waktunya"
Tak terhitung berapa kali sudah kau ucapkan hal serupa ini hanya untuk menenangkanku. Awalnya aku mungkin merasa tenang dan yakin tapi kemudian jawaban itu terlalu sering kudengar dan tak lagi membuatku merasa terpuaskan. Hm...mungkin aku butuh kepastian yang lebih pasti dari apa yang telah kita jalani saat ini.

Aku mencintaimu, tapi kamu masihkah seperti itu?

Bagiku cinta tak cukup terselesaikan dengan apa yang dirasa saat ini. Bagiku, Menikah bukanlah penyelesaian akhir tapi merupakan konsekuensi awal sebelum akhirnya cinta benar-benar diuji kesetiaannya dalam biduk rumah tangga dan berakhir indah di tarikan nafas terakhir dengan gelora cinta di dada yang masih sama seperti dulu, sejak pertama kali, ketika simbol cinta terlingkar dijari sebagai pertanda aku milikmu, kau milikku, selamanya.

Dan kita, belum memulainya.