Rabu, 21 September 2011

Stair Way to...



" Kontrakku di perpanjang setahun "
" Oh yach...Alhamdulillah "
" Tapi aku menolak "
" Kenapa? "
" Gajiku tidak berubah "
" Tidak apa-apa, sabar saja dulu, mungkin tahun depan "
" Iya kalau masih bisa di perpanjang lagi sampai tahun kedua, kalau tidak, itu artinya aku hanya akan menerima gaji seperti ini saja selama setahun kedepan"
" Ambil positifnya "
" Positif mana? Kamu gampang saja bilang begitu, Aku... Aku yang bekerja. Hari - hariku bergelantungan diantara besi-besi kokoh yang terpancang tinggi menjulang, sangat beresiko. Siang kepanasan, hujan kehujanan, tengah malam orang lain sudah tidur tapi aku kadang masih harus melek, besokpun tetap harus masuk pagi tanpa ada toleransi, bahkan sering pula tak tidur. ini kerjaan outdoor. Tanaga yang terkuras tak sebanding dengan hasil keringat yang kukantongi tiap bulannya. Belum lagi masalah klaim potongan sana-sini karena alasan telat ke kantor, tapi perih mataku menahan kantuk saat kerja lembur kadang tak di perhitungkan. Seringkali aku pergi lama, berhari - hari, berminggu - minggu, sampai berbulan - bulan, tapi saat kembali pulang, aku justru minus yang plus hanya lelah. Aku tidak minta terlalu banyak, sewajarnya saja, setidaknya peluhku berbanding sama dengan perutku "
" Tak bisakah kamu pertimbangkan lagi "
" Apa lagi? "
" Keluargamu, bukankah sejak Ayahmu pergi, kamu yang menggantikannya. Cicilan motor dan tagihan lain yang mesti dibayar atau rengek ponakanmu yang meminta sebungkus permen "
" Narik ojek kek atau apa saja "
" Kenapa sih kamu "
" Jangan terlalu mengintimidasi, ini aku, bukan kamu "


Dialog itu kemudian berakhir begitu saja. Entah aku bisa memahami gulanamu atau justru aku yang ingin kamu mengerti keadaanmu sendiri dan sedikit berdamai dengan takdir. Betapa banyak yang ingin sepertimu demi menyambung hidup, lantas mengapa kamu ingin membuangnya begitu saja dan mengabaikan janji manis Tuhan dibalik rasa sabar. Bukan suatu kesalahan memang bila kamu merasa tidak nyaman dengan kondisi yang tidak memihak, Mungkin pula bukan suatu kesombongan bila kamu berkata "kurang" dan meminta sedikit "lebih". Toh masih dalam koridor standar. Tapi, mungkin tidak sekarang.


Pernah kamu membaca biografi orang sukses, bahwa gelimangan kenyamanan yang menyertai mereka justru bergandeng erat dengan ketidaknyamanan diawal mereka melangkah. Hal yang membuat mereka bertahan adalah mimpi dan sabar. Mungkin kamu sudah punya mimpi, hanya saja belum bersabar.
Bersukurlah atas apa yang kamu punya, dengan begitu kamu bisa bersabar. Bersabarlah sebentar maka mimpimu tak lagi jauh.


Kamu telah lama menghilang.
Kemana.
Entah.
Tapi pesan ini kutitipkan untukmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar